Monday, August 16, 2010

Telok Abang, Mainan Khas HUT Kemerdekaan RI di Palembang


Di kota Palembang, siapa yang tak kenal Telok Abang (Telur Merah), mainan khas anak-anak yang hanya ada pada saat menyambut HUT Kemerdekaan RI. Mainan ini berupa miniatur pesawat terbang atau kapal perang yang terbuat dari kayu gabus dilengkapi telur ayam rebus yang diberi pewarna merah serta tambahan aksesoris kertas hias warna warni. Telur warna merah inilah yang disebut Wong Palembang sebagai Telok Abang.

Namun sekarang bentuknya tidak terbatas pada pesawat atau kapal perang saja, pengrajin telah banyak melalukan modifikasi bentuk misalnya bentuk hewan, mobilan, motor, dan becak.

Penjual telok abang mulai marak sejak awal bulan Agustus. Mereka tersebar di keramaian kota seperti pasar 7 Ulu, pasar Plaju, pasar Palima dan juga sepanjang jalan protokol kota Palembang. Tidak hanya pembeli dari dalam kota, pembeli dari luar daerah pun banyak yang membeli telok abang sebagai koleksi saat mereka melintasi Palembang. Harganya pun bervariasi antara. 10 ribu sampai  50 ribu rupiah tergantung tingkat kesulitan pembuatannya.

Namun dibalik uniknya bentuk mainan ini, tersirat makna yang mendalam tentang Kemerdekaan Indonesia. Orang tua dulu mengatakan bahwa telok abang merupakan lambang dari perlawanan pejuang-pejuang kemerdekaan dalam mengusir penjajah. Walaupun pada saat itu mereka tidak memiliki persenjataan, kapal perang maupun pesawat yang modern tetap gigih berjuang sampai titik darah penghabisan. Makanya, dibuatlah miniatur dari pesawat dan kapal supaya para generasi muda tahu walau tak punya persenjataan lengkap mereka masih dapat merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 65, Jayalah Negeriku Jayalah Bangsaku……..

Thursday, August 12, 2010

Pengalaman Pribadi: Pertolongan Allah yang Tak Terlupakan


Di tengah kesucian Ramadhan 1431 H ini, tentunya kita sebagai Muslim menyambut dengan sukacita kedatangannya. Bersyukur pada Allah karena dipertemukan kembali dengan bulan yang penuh berkah ini, sementara banyak saudara, teman dan kolega yang di Ramadhan kemarin masih dapat berkumpul bersama namun di tahun ini telah pergi mendahului menghadap-Nya.
Di tengah upaya meningkatkan ibadah di bulan Puasa ini, tak lupa pula mengingat dan menghitung kebaikan yang telah Allah berikan selama hidup di dunia fana ini. Aku pun teringat pengalaman pribadi yang sungguh tak terlupakan. Pengalaman yang membuatku harus selalu bersyukur bahwa begitu Maha Besar kuasa Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Aku menyebutnya sebagai pertolongan saja, karena bila menyebutnya sebagai mukjizat, karomah atau pun yang lain rasanya hanya layak dianugerahkan kepada orang-orang suci pilihan Allah seperti Rasululullah, Nabi maupun Wali Allah. Sementara aku hanyalah insan biasa yang ibadahnya seperti orang-orang kebanyakan, tak begitu menonjol malah masih banyak yang bolong-bolong.
Tahun itu, 2001. Beberapa bulan setelah pernikahan, kami bersilaturrahim kepada mertua di Kepahiang, Bengkulu. Maklumlah, saya sendiri sudah tidak ada orang tua lagi. Jadi, mertua lah yang selalu dikunjungi. Sepulangnya dari tempat mertua, sebagaimana pengantin baru yang masih belajar dan merintis kehidupan, bekal uang yang kami bawa tidak lah banyak, cukup ongkos pulang pergi dan sekedar untuk membeli oleh-oleh sedikit buat saudara di Palembang.
Pukul lima pagi, kami berangkat dari Kepahiang menuju kota Curup. Dari sana kami naik angkutan umum menuju kota Lubuk Linggau. Di kota ini, angkutan menuju Palembang yang murah meriah hanyalah Kereta Api. Jarak Lubuk Linggau ke Palembang memakan waktu kurang lebih 12 jam, perjalanan yang sungguh melelahkan. Dengan uang terbatas tidak ada pilihan bagi kami berdua, mau naik travel antar alamat sangatlah mahal, lebih baik uangnya kami belikan beras saja. Kereta api pun tidaklah begitu nyaman, karena kami hanya mampu beli tiket kelas ekonomi saja.
Pukul 19.30 malam, sampailah kami di Palembang. Kota tempat kami mengais rezeki. Biasanya, setibanya di stasiun Kertapati begitu banyak pilihan angkutan yang bisa mengantar kami pulang ke rumah. Namun, malam itu sesuatu yang tidak kami duga terjadi. Hari itu, rupanya seluruh angkot, bis kota dari stasiun ke pusat kota melakukan demo. Yah, sopir-sopir itu menggelar aksi mogok serentak. Mereka memprotes kebijakan Pemerintah kota yang mengubah jalur angkot dan bis kota karena dinilai jalur yang baru mengurangi pendapatan mereka. Kejadian ini dimanfaatkan oleh angkot dan taksi gelap untuk meraup keuntungan, tarif pun dinaikkan beberapa kali lipat. Calo-calo angkot di stasiun pun semakin merajalela menekan calon penumpang yang tak ada pilihan lain. Melalui Wartel yang ada, kami berusaha menghubungi saudara di rumah. Walau kami tahu, kakak iparku hanya memiliki sebuah sepeda motor tua. Kami pun menelepon melalui tetangga minta dihubungkan dengan kakak ipar tersebut, maklumlah saat itu handphone masih belum marak seperti sekarang. Apa daya, setelah beberapa kali menelepon tidak ada jawaban, sepertinya tetangga kami itu sedang tidak ada di rumah.
Sementara malam semakin larut, kami tak luput dari tawaran calo-calo angkot yang rata-rata preman stasiun. Salah seorang dari mereka begitu gencarnya mendekati kami. Untuk sampai ke alamat rumah kami lima puluh ribu rupiah harus kami keluarkan, sementara kalau naik angkot biasa hanya mengeluarkan lima ribu rupiah untuk berdua. Sementara penumpang di stasiun mulai berkurang, ada yang dijemput keluarga ada pula yang terpaksa naik angkot gelap mahal tersebut walau terpaksa. Bukannya pelit tapi memang uang yang kami kantongi saat itu pas-pasan saja. Putus asa tak ada jemputan dari kakak ipar, aku pun berusaha melalukan tawar menawar harga, siapa tahu harga bisa dikurangi. Tapi tak ada hasil, mereka pun bertahan dengan harga lima puluh ribu. Begitu lihainya mereka memanfaatkan situasi ini. Akhirnya, aku pun nego harga dengan salah satu calo yang terakhir mendekati kami. Yah, tak ada jalan lain sementara badan sudah letih dan kami harus pulang. Sepertinya masalah berakhir dengan menaiki angkot tersebut. Oh tidak rupanya, calo-calo yang lebih dahulu mendekati kami tadi, tidak rela kami pergi dengan selamat. Mereka merasa mereka lah yang berhak mendapatkan kami. Saat akan menaikkan barang ke mobil tersebut, sekitar sepuluh calo yang juga merupakan preman stasiun mengerubungi kami. Berbagai ancaman mereka lontarkan terhadap kami, ada yang minta kami membayar lagi pada mereka, ada pula yang mengancam ingin ‘menyelesaikan’ kami. Bukan main ketakutannya. Mau melawan, apalah kekuatan yang dapat diandalkan menghadapi sepuluh orang. Sementara aku berdua bersama istri. Terbayanglah di benakku kejadian keji yang akan menimpa kami. Aku pun hanya bisa menghiba minta maaf kepada mereka. Sopir angkot yang akan kami naiki pun tak kuasa membela, mungkin bagian dari mereka juga. 
Di tengah ketakutan, tak disangka tak pula diduga datanglah dua orang teman kakak ipar kami, Dayat dan Armis di tengah kepungan preman tersebut. Langsung dengan sigapnya mereka mengajak kami pulang dan membantu mengangkut barang naik ke angkot tersebut. Preman-preman itu pun sepertinya tidak berkutik, tidak banyak omong membiarkan kami pergi begitu saja.
Selama di perjalanan dan sesampainya di rumah, tak henti aku berpikir mengingat kejadian itu. Memikirkan dua teman kakakku yang menjemput tadi, menggunakan angkot atau motor pun tidak. Kami pun tidak merasa menghubungi mereka, jangankan menghubungi mereka, kakak ipar pun tak sempat kami hubungi. Satu lagi keheranan kami, darimana mereka langsung tahu posisi kami sementara mobil angkot tadi berada di pojok stasiun yang agak sepi dan gelap, kendaraan pun tidak dibawa saat mencari kami. Mengapa juga para calo dan preman tadi hanya terdiam membiarkan pergi begitu saja sementara sebelumnya dengan garangnya mereka mengancam kami. Seperti di film-film, sang penolong biasanya dengan gaib langsung menghilang. Tapi, teman kakak tersebut tidak, mereka langsung ngobrol seperti biasa setelah tiba di rumah. Aku dan istri pun merenungkan kejadian ini, kami mengambil kesimpulan bahwa ini adalah salah satu bentuk pertolongan Allah kepada kami, padahal aku bukanlah seorang yang bisa dikategorikan ustad atau orang alim. Amalan ku pun biasa-biasa saja, paling sebelum pergi dari rumah sekedar mengucap bismillah tiga kali.
Subhanallah, kejadian ini tak akan terlupa seumur hidupku. Andai Allah tidak menurunkan bantuan itu, tidaklah aku bisa menikmati kehidupan sampai saat ini, memiliki tiga orang anak yang lucu dan jadi seorang Blogger. Sudah tak terhitung kenikmatan dan kelapangan rezeki yang diberikan Allah. Semoga aku bisa menjadi orang yang bersyukur. Amin Ya Robbal Alamin.

Sunday, August 8, 2010

Apakah Saya seorang Blogger Pencuri?

Setelah mengembara dari satu blog ke blog lain, hidayah untuk menjadi blogger yang baik mulai menggugah hatiku. Judul postingan kali ini sengaja kupublish sebagai monumen awal untuk mengasah kemampuan menulis yang sebenarnya. Bukan bertujuan mencaci maki, mengejek orang lain namun hanya melecut diriku agar terbiasa menuangkan ide hasil karya sendiri.

Setahun yang lalu, saat memutuskan untuk membuat blog, urusan sebuah postingan? urusan update artikel? ah, mudah ! Ada berjuta bahkan milyaran jenis artikel untuk postingan berserakan di dunia maya siap membenamkan kreativitas otakku. Dimanapun aku berada, apa pun jenis artikel yang kumau. Selalu tersedia untuk dicuri, dirampok seenaknya tanpa perlawanan, tanpa laporan polisi dan penangkapan. begitu mudahnya aku menjelma menjadi master blogger instan yang 'mengajarkan' berbagai tips trik, tutorial 'how to' hasil maling tanpa perlu minta izin dan pasang sumber link segala.

Namun semakin jauh blogwalking yang kulakukan, dari blog seorang Newbie sampai blog yang mengaku master sekalipun. Mulai muncul keheranan dan sejumlah pertanyaan. Mampir di blog pemula tapi berisi postingan hebat mengenai tutorial, tips trik. Lalu, mampir di blog yang mengajarkan cara mengatur template yang baik bahkan menyediakan link untuk download template terbaru tapi blog itu sendiri berantakan, kusam bahkan banyak widget-widgetnya yang nggak pas dengan ukuran blog. Ada pula postingan yang sama di beberapa blog, bahkan postingan-postingan kembar yang diberi tambahan bumbu penyedap. Ini semua mengundang pertanyaan tapi aku sendiri tak bisa bertanya, menimbulkan tuduhan namun aku tak boleh menuduh seenaknya. Apakah mereka seperti aku? apakah semua ini hasil copy paste artikel orang lain? Wallahualam, hanya Allah SWT lah yang tahu. Aku pun harus bijak dan lapang dada menghadapi kenyataan yang ada, kemampuan dan gaya setiap blogger tidaklah sama sebagaimana warna kehidupan yang dianugerahkan Tuhan. Tak juga aku harus mengutuk, menghakimi dan menyudutkan orang lain sementara aku sendiri pun memulai blogging dengan cara seperti itu.

Dalam pencarian dan perjalananku menghidupi blog Putra Sang Pejuang, rupanya banyak juga teladan baik dari sahabat blogger yang benar-benar mengisi postingan mereka dengan artikel-artikel berkualitas hasil karya sendiri tanpa harus terbelenggu dan menghalalkan copy paste. Dari blog seperti inilah aku merasa tersindir, ditampar dari 'kiri kanan atas bawah', ditelanjangi 'setelanjang-telanjangnya'. Namun, dari sahabat blogger inilah muncul setitik cahaya tekad dan harapan untuk mengikuti jejak kebaikan sebagai seorang blogger yang sebenarnya. Setidaknya bermanfaat bagi diri sendiri dulu kemudian suatu hari nanti bisa bermanfaat buat orang lain. Mengutip kata-kata nakal sahabatku, aku tak mau jadi 'Blogger Master Kentut'






 

Followers

Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino